Penulis : Zulnadi, SH --Ketua KPU Padang Pariaman
Pemilu bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk pendidikan politik bagi warga negara terutama dalam era konsolidasi demokrasi bangsa Indonesia dewasa ini. Meskipun sudah pernah 11 (sebelas) kali melaksanakan pemilu - 4 kali di era reformasi.
Namun sulit untuk menyimpulkan bahwa bangsa ini sudah berada pada titik kematangan demokrasi terutama dikaitkan dengan perilaku politik warga dan elit parpol dalam pemilu.
Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan dalam praktik berdemokrasi di negara manapun selain terus meningkatnya apatisme publik terhadap demokrasi dan pemilu sebagai dampak dari perilaku institusi/personal dan miskinnya pendidikan politik warga negara.
Sinisme terhadap politik sebagai sesuatu yang “kotor”, “curang” adalah refleksi bahwa ada yang keliru dalam paradigma masyarakat terhadap politik (baca: demokrasi).
Siklus pemilu lima tahunan pada dasarnya menciptakan ruang atraktif yang menyedot perhatian warga negara yang bisa dimanfaatkan untuk menularkan paradigma baru dengan menggunakan kesadaran literasi dengan cara membangun narasi-narasi yang benar dan konstruktif tentang urgensi demokrasi, pemilu dan partisipasi publik.
Strategi Literasi Demokrasi Berkeadilan dan Beradab
Dalam demokrasi, suara diukur secara substantif bukan matematis. Suara rakyat mengandung unsur aspiratif dan muatan konstitusional yang terkait erat dengan HAM. Karenanya perebutan terhadap suara rakyat/pemilih pada dasarnya adalah perebutan tentang prospek kesejahteraan rakyat yang harus ditingkatkan terutama dalam kurun lima tahun kepemimpinan.
Rakyat bertransformasi menjadi pemilih pada saat pemilu dilaksanakan. Karena itu pemilih harus diletakkan dalam posisi yang pas sebagai pemilik kedaulatan negara ini yang berhak menentukan pilihannya secara bebas dan diperlakukan secara adil karena akan berimplikasi pada suksesi kekuasaan yang bertanggungjawab dalam mengejawantahkan tujuan bernegara itu sendiri.
Parpol sebagai sarana pendidikan politik dan rekrutmen kepemimpinan dituntut untuk komit untuk mewujudkan peran strategis pemilih ini. Bukankah tujuan lahirnya parpol harus tunduk pada kepentingan bangsa dan negara serta keutuhana NKRI? Karenanya parpol musti dikembalikan kepada khittahnya sebagai institusi/alat demokrasi dan perannya dalam pendidikan politik warga.
Sarana kampanye sudah saatnya digunakan untuk pencerdasan bukan semata-mata pencitraan. Meskipun sudah berulang kali melaksanakan pemilu, sampai saat ini media kampanye masih didominasi pencitraan yang pada dasarnya bententangan dengan tujuan kampanye sebagai pendidikan politik. Baliho dan spanduk hanya berisi foto, angka, nama dan permintaan dukungan yang seharusnya berisi visi, misi dan program, alaih-alih berisi strategi lima tahunan yang berangkat dari kondisi kekinian dan tantangan masa depan bangsa.
Bahkan pencitraan inipun dilakukan dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan semangat perundang-undangan seperti pencitraan diluar masa kampanye (?) Yang jelas menimbulkan tanda tanya besar dan kegalauan ditengah masyarakat kenapa demokrasi kita seperti tersandera oleh kepentingan pragmatis dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan perilaku/perlakuan.
Masa kampanye Pemilu 2019 akan segera mulai (23/09/2018 s/d 13/04/2019), kita patut berharap ruang publik kita tidak hanya disesaki oleh gambar dan angka-angka namun juga berisi pandangan-pandangan yang berkaitan langsung dengan kehidupan rakyat dan program-program kerakyatan. Publik harus “dipaksa” untuk mulai belajar menggunakan hak konstitusionalnya dalam pemilu berdasarkan pertimbangan rasional-konstruktif bukan karena faktor primordialistik.
Sebaliknya publik perlu diedukasi untuk berani “menghukum” partai yang tidak mau memberikan pencerdasan politik; tidak mempunyai program yang realistis, dan; tidak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dan kerberadaban dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara tidak lagi memilih mereka pada pemilu berikutnya.
Mengawal Demokrasi dan Kepemimpinan
Partisipasi publik dalam demokrasi tidak selesai dengan keluarnya pemilih dari bilik suara, sebaliknya bentang lima tahunan berdemokrasi baru saja dimulai. Pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dan amanah UUD 1945 oleh kepemimpinan yang berhikmah dan bijaksana harus dikawal oleh seluruh masyarakat agar permusyawaratan dan perwakilan benar-benar sejalan dengan tujuan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pemimpin yang “dicaci” dan perwakilan yang “dibenci” adalah potret nyata bahwa amanah kerakyatan tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Wakil rakyat yang tidak merakyat bahkan ingin dihormati oleh rakyatnya adalah “dagelan” yang tidak punya akar rasional yang semestinya harus dihentikan, termasuk pemimpin yang tidak melayani dan jauh dari warganya.
Demokrasi yang beradab dan bisa dipercaya adalah demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai sokoguru dan institusi demokrasi sebagai sarananya. Dengan pencerdasan politik warga maka pondasi demokrasi akan kuat, dan warga bisa menjalankan fungsi kontrol terhadap pengemban amanah yang harus dipastikan berjalan diatas rel norma-norma hukum dan sosial yang berlaku.
Kita berharap Indonesia akan terhindar dari ancaman demokrasi moderen berupa manipulasi kekuasaan terhadap perundang-undangan demi hegemoni kekuasaan dan manipulasi terhadap lembaga-lembaga atau institusi-institusi negara untuk kepentingan “kekuasaan” yang cenderung korup dan rakus. melalui pendidikan politik akan terjadi peningkatan partisipasi politik dan terwujud kehidupan demokrasi yang adil dan beradab . Semoga!
(tuisan ini pernah dimuat di Harian Padang Ekspres.com)