Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Saatnya Petani Harus Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Rabu, 21 Juni 2017 | 17:18 WIB Last Updated 2022-04-01T08:12:47Z
Padangpariaman ( Reportase Sumbar)---Menjalani profesi sebagai petani memang  sarat dengan suka dan duka di dalamnya. Adakalanya hasil panen yang didapat bisa mendatangkan hasil yang cukup lumayan. Namun tidak jarang pula justru harus menghadapi kenyataan pahit. Apakah itu disebabkan karena terjadinya gagal panen, akibat serangan hama misalnya, atau karena adanya serangan gejala penyakit tanaman lainnya.

Belum lagi kenyataan lain, seperti akibat tidak adanya kepastian harga di pasaran. Soalnya, pas panen lagi baik, namun bisa saja harga jual menjadi begitu rendah, sehingga hasil yang didapat tidak jadinya lebih dari sekadar pulang pokok.

Sebagai contoh kecil mungkin bisa dilihat dari gonjang-ganjing harga cabe merah beberapa waktu lalu, yang harganya sempat menembus harga tertinggi, yaitu di atas Rp100 ribu perkilonya. Dan seiring perjalanan waktu, setelah adanya campur tangan pemerintah, harga cabe yang semula membubung tinggi, kini dapat ditekan. Hanya saja sayangnya, akibat tidak adanya penetapan standarisai harga yang jelas, kini harga cabai bahkan menukik tajam hingga Rp13 ribu perkilogramnya, yang berarti juga dirasakan sebagai pukulan tersendiri bagi petani.

Begitulah setidaknya benang merah hasil perbincangan dengan sejumlah petani, yang dihubungi di tempat terpisah. Seperti diakui Syafril, warga Malai V Suku Padangpariaman.

Lebih jauh Syafril menyebutkan, dibanding negara lain, profesi sebagai petani di negara kita memang tergolong belum begitu beruntung. Karena selain disebabkan banyaknya risiko yang harus dihadapi juga tidak adanya kepastian harga jual ikut menjadi kendala tersendiri bagi para petani.

“Padahal selain membutuhkan modal cukup besar untuk membeli pupuk dan biaya perawatannya, sebagai petani terkadang kita juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya pekerja,” terangnya.

Ia mencontohkan, sebagai petani yang menekuni usaha budi daya cabe rawit,
selain harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli pupuk dan lain sebagainya, dia juga harus mengeluarkan biaya lainnya untuk ongkos pekerja. Pasalnya, untuk memanen cabe rawit dengan kisaran lebih dari 500 batang, jelas tidak mungkin dilakukan sendiri dalam waktu sehari.

“Karena itulah saya pun akhirnya terpaksa harus mempekerjakan orang lain untuk bisa memetik buah rawit tersebut. Biayanya bisa saja bekisar 5 ribuan perkilonya,” terangnya.

Ironisnya lagi menurut Syafril, jika saja harga jual cabe rawit sedang baik, sebut saja dengan kisaran harga Rp25 ribu perkilonya, mungkin hal itu tidak akan jadi persoalan. Namun lain halnya jika harga cabe rawit hanya berkisar Rp13 ribu perkilonya. Dapat dibayangkan, berapalah hasil keuntungan yang bisa diperoleh. Jangankan beruntung, pulang modal saja belum tentu.

“Ya mau bagaimana lagi memang begitulah nasib kita petani di negara ini. Kalau harga sedang murah-murahnya, jangan harap bisa dapat untung mungkin modal saja belum tentu bisa kembali,” terangnya.

Bagi petani yang menanam dalam jumlah kecil, kondisi itu barangkali tidak terlalu terasa dampaknya,  lain bagi mereka yang menanam dalam jumlah besar, kenyataan itu bisa saja menimbulkan kerugian yang cukup besar pula.

Karena itulah, Syafril berharap kiranya ke depannya hal itu bisa menjadi perhatian serius oleh para pemangku kebijakan di negara ini. Sehingganya nasib petani bisa lebih sejahtera dan menjanjikan.

“Karena kalau mau jujur, mungkin bisa dikatakan nasib petani kita belum merdeka sepenuhnya. Makanya inilah ke depannya yang harus jadi tugas atau PR nya pihak pemerintah, sehingga nasib petani bisa terangkat ke permukaan,” harapnya.

Sebagai petani, Syafril mengaku sangat mengapresiasi kebijakan dan langkah terobosan yang dilakukan pejabat terkait dalam mengendalikan harga-harga komoditi di pasaran. Sehingganya terjadinya praktikk spekulasi yang berakibat timbulnya harga tinggi di pasaran bisa diantisipasi sedemikian rupa.

“Namun hendaknya jangan sampai disitu saja, sebab selain mampu menekan harga-harga di pasaran, pemerintah hendaknya juga perlu menetapkan standar harga terendah. Artinya tidak hanya sekadar mampu mengendalikan atau menekan harga pasar, namun juga perlu ditetapkan standarisasi harga yang jelas, termasuk berapa harusnya harga terendah untuk satu komoditas tertentu,” harapnya.

Senada dengan itu juga diakui St Tumangguang, salah seorang petani lainnya. Pihaknya juga berharap agar pihak pemerintah ke depannya bisa memberikan kepastian harga bagi petani. “Selama inkan kalau harga komoditi melambung tinggi di pasaran, maka biasanya pejabat terkait langsung kasak-kusuk melakukan berbagai langkah kebijakan untuk menekan harga-harga komoditas di pasaran. Tapi sayangnya pemerintah tidak pernah menetapkan berapa harusnya standar harga terendah untuk satu jenis komoditi tertentu, sehingga petani tidak menjerit karena besarnya kerugian yang mereka alami9,” terangnya.

Sutan Tumanggung juga menambahkan, kinilah saatnya pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para petani, sehingga nasib petani kita bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. “tapi kalau standari harga tidak pernah ditetapkan, terutama untuk kisaran harga terendah, maka bisa saja petani kita nantinya justru hanya akan menjadi buruh di lahannya sendiri. Padahal tujuan utama dari kemerdekaan kita adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Jadi inilah ke depannya yang perlu menjadi perhatian pihak pemangku kebijakan di negeri kita ini,” imbuhnya. (yurisman malalak)
×
Berita Terbaru Update