![]() |
Rajo Sampono |
PAANGPARIAMAN--- Kecewa berat terhadap keputusan sepihak Pemerintah Kabupaten Padangpariaman, kemarin, pucuk adat nagari Katapiang, Rangkayo Rajo Sampono, memutuskan langkah drastis memindahkan tanah ulayat Nagari Katapiang dari wilayah administrasi Kabupaten Padangpariaman ke Kota Padang.
Keputusan ini mencuat setelah Bupati Padangpariaman, John Kenedy Azis, menghentikan pelaksanaan Pekan Kebudayaan Daerah I yang telah dirancang secara matang di Katapiang. “Kami tidak pernah meminta jadi tuan rumah. Pemkab yang menentukan. Sekarang dihentikan dengan alasan tidak boleh pakai APBD,” kata Rangkayo Rajo Sampono, kemarin.
Ia menyebut sikap Bupati Padangpariaman sangat melukai hati masyarakat Nagari Katapiang. Apalagi pemberitahuan penghentian kegiatan tersebut disampaikan lewat siaran pers resmi tanpa ruang diskusi. “Seakan kami yang saya,kami meminta APBD. Padahal, tidak sama sekali,” tegasnya.
Menurutnya, keputusan yang diambil Bupati terkesan otoriter dan emosional, sehingga tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bijaksana. "Saya sudah temui. Yang dibilang bupati hanya hentikan. Kami tidak diberi ruang sedikitpun untuk diskusi. Seakan tidak ada lagi solusi,” ujarnya.
Ia menilai, jika alasan anggaran menjadi kendala, seharusnya bisa dicari solusi bersama melalui semangat gotong royong, bukan malah menghentikan begitu saja. “Kalau dihentikan, kemana muka akan diletakkan. Kita sudah undang banyak orang,” tegasnya lagi.
Maka dari itu, sambungnya, luka yang diciptakan Bupati Padangpariaman begitu mendalam. Hal itu lantaran relasi emosional antara pemimpin dan masyarakat benar-benar diabaikan. “Bupati itu kan panggil saya ayah. Ini pelajaran untuk dia agar lebih bijak dan sopan bersikap ke depannya. Kalau ke saya dia seperti itu, bagaimana ke anak kemenakan saya,” ujarnya.
Langkah untuk memindahkan tanah ulayat ke Kota Padang bukan keputusan yang diambil dalam semalam. Rajo Sampono mengungkapkan bahwa dulu Walikota Padang Fauzi Bahar sempat menawarkan hal serupa.
Namun, saat itu ia menolak demi menghargai Bupati Muslim Kasim. Kini, ia merasa Nagari Katapiang telah diabaikan. “Anak bana yang maanggap ayahnyo abu di ateh tunggua. Lebih baik saya keluar dari rumah,” tegasnya, mengibaratkan perasaan seorang ayah yang diusir anaknya dari rumah.
Bahkan, ia memastikan tidak akan membuka ruang dialog dengan Bupati Padangpariaman. “Kami sangat kecewa. Tiga kali dia telpon saya, tidak saya angkat. Hati saya benar-benar sakit. Saya temui dia ke rumah dinas bersama niniak mamak Katapiang. Kami tunggu 2 jam dia. Nyatanya yang kami dapat hanya kata sudah, hentikan saja pekan kebudayaan itu,” ujanya lagi.
“Tidak dibangunnya pun nagari kami ini 5 tahun ke depan, tidak masalah bagi kami. Dia benar-benar mencoreng wajah niniak mamak dan masyarakat Nagari Katapiang. Dia (bupati) anak saya, itu benar. Harus digarisbawahi dia anak dapat di jalan. Kalau kurang ajar begini, ya saya buang lagi ke jalan,” tegas Rajo Sampono.
Katanya, masyarakat di Pantai Katapiang tampak sibuk menyiapkan Pekan Budaya Nagari Katapiang. Meskipun kecewa, semangat mereka tidak surut. Perbincangan tentang kekecewaan terhadap Bupati terdengar di berbagai sudut, namun niat melanjutkan acara secara mandiri terus dikobarkan.
"Insya Allah, kami mengajak masyarakat Padangpariaman umumnya Sumatera Barat untuk menyaksikan Pekan Budaya Nagari Katapiang ," ajak ES Sampono Rajo Panyinggahan, salah seorang niniak mamak Nagari Katapiang.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, Bupati Padangpariaman John Kenedy Azis ataupun Sekkab Padangpariaman Rudy Repenaldi Rilis belum memberikan tanggapan, saat dikonfirmasi terkait niat Rajo Sampono memindahkan tanah ulayat Nagari Katapiang ke Kota Padang.
Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Bupati Padangpariaman menyatakan penghentian Pekan Kebudayaan Daerah I dengan alasan efisiensi anggaran. Ia juga mengaku baru mengetahui bahwa kegiatan itu membutuhkan dana Rp 240 juta akibat miskomunikasi internal Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padangpariaman.
Keputusan yang datang hanya lima hari menjelang pelaksanaan itu memicu kemarahan pemangku adat dan masyarakat Nagari Katapiang. Namun, dengan semangat kolektif, mereka memilih untuk tetap menggelar acara secara mandiri, menggandeng perantau dan pihak-pihak yang peduli akan kelestarian budaya lokal. (aris)