Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Ketika Semangat Toleransi dan Kerukunan di Tanjuang Basuang Terus Lestari

Jumat, 29 September 2017 | 20:03 WIB Last Updated 2022-03-31T15:37:34Z
Oleh : Yurisman Malalak/Wartawan Reportase Sumbar

Kabupaten Padangpariaman Provinsi Sumatera Barat selama ini  memang telah dikenal luas sebagai daerah utama bagi pengembangan ajaran Islam di Sumatera Barat atau bumi Minangkabau yang dibawa dan dikembangkan oleh ulama besar  bernama Syech Burhanuddin Ulakan.

Namun siapa nyana, bila ternyata di jantung daerah berjuluk seribu surau ini, terhampar pemandangan lain, yaitu terkait hadirnya suasana harmonisasi hidup masyarakatnya yang dibingkai semangat kerukunan dan toleransi, seperti yang ditemukan di Nagari Tanjuang Basuang Barat, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padangpariaman.

Seperti diketahui, bagi masyarakat Tanjuang Basuang Barat dan sekitarnya, keberagamanan suku dan agama seolah sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di daerah ini. Menariknya, kondisi itu bahkan telah berlangsung dan terbina dengan baik sejak berabad-abad lamanya.

Makanya tak heran, bila kondisi itu akhirnya banyak menimbulkan sikap penasaran dari sebagian kalangan, baik itu dari kalangan perguruan tinggi, para akademisi maupun kalangan masyarakat lainnya. Hal itu misalnya terlihat dari dari kunjungan berbagai pihak dengan tujuan untuk melakukan studi banding ataupun penelitian ke daerah itu. Seperti terlihat dari kunjungan rombongan masyarakat Papua ke daerah itu beberapa waktu lalu.

Sebagaimana diketahui, selain dihuni mayoritas masyarakat Minang yang umumnya mayoritas beragama Islam, di Nagari Tanjuang Basung Barat  juga ditemukan etnis minoritas, dalam hal ini suku Nias.

Hanya saja, meski terbilang sebagai minoritas, keberadaan suku Nias di daerah ini seolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minang yang ada di daerah itu.

 Tidak kalah pentingnya, sikap keharmonisan yang telah terbina dengan baik antara kedua belah pihak selama ini bahkan juga lahir dalam bentuk pembauran budaya, tentunya dengan tetap mengedepankan semangat saling menghargai antara satu sama lain.

Hal itu misalnya bisa dilihat saat kegiatan pesta perkawinan, dimana pasangan pengantin suku Nias biasanya selalu menggunakan pakaian pengantin adat Minang, seperti yang berlaku di sejumlah daerah lain  di Sumatera Barat. Demikian pula sikap toleransi dalam hal kebebasan beragama atau keyakinan agama, yang dibuktikan dengan kehadiran dua buah gereja di daerah itu. Masing-masing Gereja Katolik dan Gereja Protestan.

Begitu pula dalam bidang kemasyarakatan lainnya. Sebut saja misalnya, gelar penghulu atau datuk yang biasa berlaku di lingkungan suku Minang, juga berlaku pula di lingkungan masyarakat Nias. Itu terbukti dengan adanya gelar penghulu atau datuk di kalangan masyarakat Nias, di samping adanya gelar kepala suku yang berlaku di lingkungan masyarakat adat Nias sendiri, yaitu Tuhenori,  yang saat ini dijabat oleh Usni Zebua.

"Ya bisa dikatakan Nagari Tanjuang Basuang Barat layak disebut sebagai "Nusantara Mini". Karena selain dihuni mayoritas Islam dari kalangan suku Minangkabau, juga didiami oleh suku Nias. Diantaranya ada yang beragama Katolik atau Protestan," ungkap Sekretaris Nagari Tanjuang Basuang Barat, Syahrial saat dihubungi di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Diakuinya, keberadaan suku Nias di Nagari Tanjuang Basuang Barat, memang seolah sudah tak terpisahkan dari bagian kehidupan masyarakat suku Minang yang ada di daerah itu. Makanya dengan alasan itu pula pihaknya berharap agar suasana keharmonisan yang telah terbina dengan baik selama ini bisa terus dijaga dan dipertahankan.

Syahrial menyebutkan, diantara bentuk kerukunan bermasyarakat yang terbangun di Nagari Sungai Buluah Barat selama ini, antara lain terlihat dengan ikut ditempatkannya orang-orang dari kalangan suku Nias, sebagai pengurus di lembaga nagari. "Seperti  Saudari Ventius Zebua ini, dia itu asalnya dari suku Nias, namun sebagai bentuk kebersamaan, dia tetap didudukkan sebagai perangkat nagari," sebut Syahrial, sembari menunjuk seorang perangkat nagari yang duduk tidak jauh dari tempatnya. Begitu pula dalam sejumlah jabatan di lembaga nagari lainnya, seperti Badan  Musyawarah Nagari atau Bamus nagari atau jabatan lainnya.

Pemerintah Nagari Tanjuang Basuang Barat menurutnya juga turut menganggarkan dana operasional keagamaan bagi pemeluk non muslim di nagari tersebut.

Terkait sikap toleransi dan kerukunan dalam beragama, kedua belah pihak menurut Syahrial, baik kalangan masyarakat muslim dari suku Minang, maupun  kalangan masyarakat Kristen dari suku Nias, selama ini bisa hidup berdampingan secara harmonis. "Bahkan biasanya saat acara natalan kami juga selalu diundang untuk hadir, namun tentunya semua sebatas sikap saling menghargai," terangnya.

Diakuinya, dari keterangan sejumlah orang tua-tua di Nagari Tanjuang Basuang Barat yang sempat diketahuinya, kerukunan dan kebersamaan yang terbangun antara masyarakat suku Minang dan kalangan suku Nias di daerah itu pada dasarnya telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu, yang ditandai lahirnya perjanjian tokoh adat ketika itu, tepatnya sekitar tahun 1927 yang lalu. Dimana salah satu isi dari perjanjian tersebut yaitu, suku Nias diizinkan mendirikan dua rumah ibadah (gereja) di daerah itu. Seperti yang ditemukan pada hari ini.

Selain itu bagi kalangan pemuka masyarakat suku Nias juga diperkenankan memakai gelar datuk atau penghulu, layaknya yang berlaku di lingkungan masyarakat adat Minang. "Dan sampai saat ini sama sekali tidak pernah terjadi perselisihan apalagi saling cekcok antara  kedua pihak, atau pertentangan dalam bentuk lainnya. Bahkan kondisi harmonis itu telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga pada generasi hari ini," imbuhnya.


Karena itulah pihaknya berharap, agar semangat yang terkandung dalam perjanjian yang pernah disepakati oleh kalangan Ninik Mamak sebelumnya hendaknya tetap bisa menjadi semangat bagi masyarakat Tanjuang Basuang Barat hari ini, demi tetap terjaganya keharmonisan dan kebersamaan masyarakat di daerah itu.

Di pihak lain, kepala suku Nias, Tuhenori Usni Zebua, yang dihubungi di kediamannya Jumat (29/9/2017) , mengakui, suasana kerukunan dan keharmonisan hidup yang terbangun di lingkungan masyarakat Tanjuang Basuang hingga hari ini, bukanlah lahir dari proses yang instan, melainkan telah melalui perjalanan atau proses  yang cukup panjang.

"Sebenarnya untuk mencapai kerukunan seperti yang terbangun hari ini saja, atau tidak lahir saat ini saja, melainkan sudah berlangsung sejak jauh-jauh hari sebelumnya," ungkap Tuhenori Usni Zebua, dengan logat minangnya yang fasih.

Saat ditemui di kediamannya Jumat kemarin, dari mulut lelaki tua ini kerap terlontar ungkapan- bijak, yang mencerminkan kewibawaannya sebagai pemimpin suku bagi kalangan masyarakat suku Nias di daerah itu.

Menariknya, selain  fasih berbahasa Minang, sejumlah petatah petitih Minang pun bisa dilantunkannya dengan baik. “Seperti diketahui, saya inikan lahir di sini juga, jadi saya inikan jelas merupakan bagian dari masyarakat Minang sini, bahkan saudara saya juga ada yang beragama Islam, tapi kami tetap bisa saling menghargai satu sama lain,” sebutnya.

Sebagai pemimpin suku Nias di daerah itu, Tuhenori Usni  Zebua mengakui, beragam perlakuan yang dialami suku Nias di daerah itu selama ini, layaknya telah menjadikan daerah Tanjuang Basuang sebagai daerah istimewa saja. "Ya inikan namanya terbilang istimewa. Coba saja kita perhatikan, di dusun ini saja, bisa berdiri dua buah gereja. Lagi pula jangankan berselisih paham, bertengkar saja selama ini kami tidak pernah," terangnya.

Artinya, setahunya menurut Tuhenori Usni Zebua, selama ini tidak pernah terjadi gesekan apalagi pertentangan antara masyarakat suku Nias dan masyarakat suku Minang yang ada di daerah itu.

Disebutkan, semangat kerukunan dan toleransi yang terbangun di daerah itu selama ini juga tidak terlepas dari adanya kesadaran untuk menjungjung nilai-nilai adat dan budaya yang ada di  daerah itu, sebagaimana yang tercermin dalam ajaran adat Minangkabau, yaitu adanya tungku tiga sajarangan, atau tali tiga sapilin.

"Artinya, kalau ketiga unsur itu telah tersusun dengan baik, yaitu kalangan tokoh agama, kalangan adat dan pemerintah, maka tentu semua akan bisa berjalan dengan baik. Lagi pula seperti istilah adat Minang juga, kami dari kalangan suku Nias juga telah mengisi adat, sehingga limbago pun dituang seperti yang terlihat hari ini," terangnya mengibaratkan.

Dengan alasan itu pula sebut Tuhenori Usni Zebua, secara kehidupan sosial, tatanan kehidupan masyarakat suku Nias yang hidup di Tanjuang Basuang, pada dasarnya juga tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di kalangan masyarakat Minang pada umumnya. Hal itu misalnya terlihat dari adanya gelar datuk atau penghulu di kalangan masyarakat Nias, demikian pula gelar kapalo mudo sebagaimana yang berlaku di lingkungan masyarakat Minang di Kabupaten Padangpariaman. Hal itu menurutnya, pada dasarnya telah berlangsung sejak beberapa generasi sebelumnya.

Sebagai contoh, selain sebagai penghulu atau kepala suku, dirinya juga ikut dibantu oleh tiga orang datuk dari kalangan suku Nias sendiri. Yaitu Datuk Rajo Bungsu, Datuk Mudo dan Datuk Rajo Kaciak. "Tapi prinsipnya  ketiganya merupakan pembantu saya sebagai Tuhenori, karena selama ini jabatan Tuhenori  sendiri sejak dulunya merupakan gelar warisan turun temurun dari kakek ataupun orang tua saya sebelumnya. Dan kebetulan saat ini saya merupakan pemangku Tuhenori yang keempat, setelah menggantikan kedudukan kakak saya yang menjabat sebagai Tuhenori sebelumnya," imbuhnya.

Sebagai kepala suku Nias, pihaknya juga tak luput berharap agar kiranya para generasi yang hidup hari ini tetap bisa mewarisi dan meneladani semangat kerukunan dan toleransi yang telah terbangun dengan baik di Tanjuang Basuang selama ini. “Karena perlu diketahui, untuk mencapai kerukunan seperti saat ini tidaklah lahir begitu saja, melainkan telah melalui proes waktu yang cukup panjang,” sebutnya memberikan petua.

Apa yang ditegaskan Tuhenori Usni Zebua itu agaknya memang sangatlah beralasan, karena perbedaan atau keberagaman idealnya tentu bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan sejatinya bagaimana menjadikannya sebagai bagian dari harmonisasi yang membuat hidup bisa menjadi lebih indah.  Layaknya ibarat pelangi yang berasal dari perpaduan warna yang berbeda-beda, namun hal itu pula yang membuatnya terlihat menjadi sangat indah.  (*)
 


  
×
Berita Terbaru Update